Rabu, 28 Juni 2017

Jonru ( Oleh : Abad Badruzaman )

Jonru bukan hanya gemar mencela Jokowi. Ulama berkelas dan pakar tafsir ternama Indonesia, yakni Ustadz Quraish Shihab pun tak luput dari cemoohan Jonru. Saya tidak pernah benar-benar memedulikan ocehan Jonru tentang Jokowi. Kebanyakan omongannya tentang Jokowi lebih sering saya anggap sebagai "hiburan" belaka; buat lucu-lucuan saja. Tapi omong-kosongnya jelang lebaran ini tentang Ustadz Quraish sungguh telah membuat kepala saya panas, hati mendidih dan dada bergolak!!

Lebaran Fitri taun ini Masjid Istiqlal menunjuk Ustadz Quraish sebagai khatib. Mengetahui hal ini Jonru di FP Facebook-nya ngomong kurang-ajar. Ia mengajak untuk tidak shalat 'ied di Istiqlal dengan alasan khatib-nya tidak beraqidah lurus, tidak mewajibkan jilbab atas muslimah, berpendapat Nabi tidak dijamin surga, dan membela Karbala. Kita ambil tuduhan Jonru yang terakhir, yakni Ustadz Quraish "membela Karbala". Orang yang sedikit saja melek sejarah umat Islam pasti tersenyum mendengar kata-kata itu; membela Karbala?! Si Jon ini, jangan-jangan gak ngerti apa itu Karbala. Tapi, asudahlah! Kita ketawakan saja kejahilannya yang berbungkus kesongongan itu!
Yang dimaksud Jonru dengan Karbala adalah Syiah. Ustadz Quraish, menurut Jonru, membela Syiah.
Karbala adalah padang di mana Sayidina Husain ra, cucu terkasih Nabi Saw. dibantai oleh pasukan Yazid. Gak harus jadi Syiah untuk menyatakan bahwa peristiwa di Karbala merupakan tragedi kemanusian, salah-satu episode terkelam dalam lembar sejarah umat ini. Tidak harus jadi Syiah untuk sedikit saja teriris hati membaca sejarah berdarah Karbala, kecuali jika hatimu terbuat dari cadas.

Jon, Ustadz Quraish aqidahnya tidak lurus? Kamu sudah baca seluruh buku karya beliau? Pada buku yang mana terdapat ketidaklurusan aqidah beliau?

Jon, Ustadz Quraish membela Syiah gegara beliau menulis buku Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan? Aku kok ragu kamu punya buku itu. Kalopun punya, jangan-jangan kamu belum membacanya. Atau sudah membacanya, tapi pemahamanmu tertutup benci dan hasud.
Jon, jangan sampe kelak di KBBI ada entry kata baru: "Jonru" yang artinya sama dengan bodoh, fitnah, dengki, dan benci!

Jon, kamu ada minat jadi ganteng gak?
Sini aku gigit kupingmu pake tang!

Senin, 19 Juni 2017

Akal (Oleh : Abad Badruzaman)

Di salah-satu cuitannya, Ustad Felix Siauw menulis, "Bukankah Al-Quran itu petunjuk dan pembeda bagi kita, maka bila sudah Muslim, ya panduannya Al-Quran dan Hadits, bukan akalnya."
Cukup banyak orang menanggapi cuitan ini. Mereka yang nggak suka sama Ustad Felix menilai kata-kata itu menihilkan akal. Saya nggak benci sama Ustad, tapi juga nggak menganggapnya referensi yang tepat tentang Islam.

Bukan...bukan karena beliau muallaf saya menilainya bukan rujukan yang pas tentang Islam. Tapi karena beberapa "fatwa"-nya saya liat justru gak mencerminkan Islam yang saya percayai, yakni Islam ramah, damai-mendamaikan, humanis dan rasional. Sebagai Muslim jujur saya senang jika ada yang masuk Islam. Tapi saya jadi sedih jika ada muallaf yang suka menjelek-jelekkan agama lamanya, mempreteli aib Kitab Suci agama lamanya, atau menelanjangi akidah-teologis agama lamanya. Hal yang sama terjadi juga ketika ada orang yang keluar dari Islam, lalu melakukan hal yang sama terhadap agama lamanya. Pada kasus ini sedih saya dua kali; sekali ketika melihatnya keluar dari Islam, sekali lainnya saat ia menjelek-jelekkan Islam. Saya sedih melihat orang pergi dari Islam. Bukan kepergiannya itu sendiri yang disedihkan. Melainkan kenyataan bahwa Islam baginya tidak memenuhi apa yang dicarinya dari sebuah agama.

Kembali ke cuitan Ustad Felix. Bagi saya cuitan itu ada benarnya, ada juga salahnya. Tergantung tafsirnya. Jika yang dimaksud bahwa bagi seorang Muslim, Quran dan Hadits merupakan pedoman dan panduan hidup, maka demikian adanya. Dari dulu gak ada yang ragu Quran-Hadits merupakan undang-undang dasar perikehidupan seorang Muslim. Tapi Quran dan Hadits adalah "barang mentah", perlu diolah dan dibedah agar down to earth. Peranti paling otoritatif mengolah dan membedah keduanya adalah akal. Tafsir, ijtihad, qiyas, istihsan, istishab, maslahah, maqashid; semua merupakan turunan dari kerja akal. Ketika membedah Quran, akal akan ditemani Ulum al-Quran, dan ketika mengupas hadits akal akan bertemankan Ulum al-Hadits.

Jika cuitan Ustad Felix di atas bertujuan meniadakan peran akal dalam keberislaman seorang Muslim, maka cuitan itu bukan sekedar ngawur tapi juga membahayakan!

"Bah...Tapi saya suka sama Ustad Felix."
"Ya nggak apa-apa. Abah juga suka kok sama gaya rambut beliau..."

Minggu, 18 Juni 2017

Mubāhalah (Oleh : Abad Badruzaman)

Belakangan ini terliat beberapa orang mudah sekali ngajak lawan debatnya untuk ber-mubāhalah. Mubāhalah artinya mulā'anah. Yaitu nantang lawan untuk kurang-lebih ngomong gini, "Jika kebenaran di pihak ane, maka azab Allah akan niban ke ente. Jika sebaliknya, ane siap ketiban azab Allah."

Awalnya dukung-mendukung tokoh-idola. Lalu berkembang ke mana-mana. Tiap-tiap kubu percaya kubu-kubuan ini lebih dari sekedar siapa di antara tokoh-tokoh idola itu yang lebih baik. Tapi mengarah ke keyakinan ini perang antara haq vs kebatilan. Kubu ane di atas haq, kubu ente batil. Akar dari semua kubu-kubuan itu tetap saja: po-li-tik! Bukan sama sekali urusan agama. Karena akarnya politik, maka sejatinya gak perlu ada persoalan apa pun yang tumbuh dari akar itu yang perlu di-mubāhalah-kan.

Dalam hal ini, yang kita perlukan bukan mubāhalah. Melainkan: siap beda pendapat, sadar semua pihak setara-sederajat, bersedia mendengar argumen dan penjelasan lawan, serta lapang menerima kekalahan jika fakta menunjukkan pendapat kita keliru.

Dalam berbeda pendapat, sebaiknya kita meniru Imam Syafi'i saat berkata, "Pendapatku benar tapi ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah tapi ada kemungkinan benar." Merasa benar tidaklah salah. Tapi lawan juga punya perasaan sama. Kebenaran memang tunggal. Tapi posisi kita sama: para penafsir sesuatu yang tunggal itu. Kita bukan nabi atau wali yang mampu merengkuh inti kebenaran.

Tapi nyatanya apa-apa di-mubāhalah-kan, dikit-dikit mubāhalah, seolah Islam gak memberi ruang buat diskusi, asah pendapat, adu argumen, bedah dalil dan kegiatan berbasis nalar lainnya.
Kuatirnya soal Maha Patih Gajah Mada yang lagi "hot" juga di-mubāhalah-kan. Semoga tidak. Biar jadi bahan lucu-lucuan saja. Tapi para akademisi dan peneliti terkait sih baiknya jangan ikut lucu-lucuan, melainkan menelisik-ulang siapa sebenarnya pemilik Sumpah Palapa itu.

Kahiyang (Oleh : Abad Badruzaman)

Senang sekali kemarin bisa mengikuti seluruh prosesi pernikahan Kahiyang-Bobby. Yang datang ribuan. Rame, semarak, tapi tetap khidmat dan sy...