Sabtu, 16 September 2017

Pencitraan (Oleh : Abad Badruzaman)


"Percaya sama saya, kalau kita kuat, kaum Rohingya kita bantu. Kalaupun kita sekarang kirim bantuan, menurut saya, itu pencitraan. Kirim bantuan pun tak sampai kadang-kadang."
Itu adalah cuplikan kata-kata Prabowo saat berorasi dalam Aksi Bela Rohingya 169 di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (16/9/2017).
Sebenarnya kata "pencitraan" ini sudah agak basi buat dibahas. Kini rasanya sudah gak terlalu relevan menggunakan kata tersebut ketika hendak "mengejek" lawan politik. Lama-lama orang bisa bedain mana pencitraan mana karakter dasar bawaan seseorang.
Orang juga semakin ngerti bahwa gak penting banget nentuin sebuah perbuatan pencitraan atau bukan, sebab mereka pada akhirnya lebih berorientasi ke hasil. Bodo amat pencitraan atau bukan; tiba-tiba jalan tol kelar, tau tau proyek mangkrak rampung, tiba-tiba bandara anyar diresmikan, tau tau pelabuhan baru dikebut, tiba-tiba juga TDL naek, tau tau gas mahal...hehe
Dalam hal bantuan ke kaum Rohingya itu, saya yakin saudara-saudara kita di sana yang kelaparan dan kedinginan itu gak bakal nanya gini ke para relawan, "Bro, ini mie instan sama selimut yang kalian bawa buat kami, hasil pencitraan bukan?" Jika ada yang sampe nanya gitu, tuh orang jahil murokkab: bodoh plus songong!
Ke Prabowo lagi. Kata-kata beliau di atas mengandung beberapa titik-lemah. Pertama: membantu harus nunggu kita kuat. Perhatikan kata-kata ini: "Percaya sama saya, kalau kita kuat, kaum Rohingya kita bantu..." Iya memang kita belum kuat, tapi kayaknya gak ada seorang pun di sini yang berpikiran bahwa Rohingya gak usah dibantu karena kita belum kuat.
Jika seorang pengamen datang menghiba uang recehan, kebetulan di dompet kita ada duit gopekan, apakah kita rela disebut bakhil dengan tidak memberi si pengamen duit gopek doang, dengan dalih bahwa kita masih nanggung cicilan ke bank hingga jutaan?
Kedua: tudingan pencitraan itu disampaikan dalam Aksi Bela Rohingya 169. Bukankah salah satu tujuan Aksi ini adalah meminta pemerintah lebih konkret dan banyak lagi membantu Rohingya? Lha sekarang, bahkan sebenarnya dari dulu, pemerintah sudah konkret dan cukup banyak membantu Rohingya, malah dikatain pencitraan. Jadi kudu kumaha atuh, Bapak?
Kelakuan "menuntut sambil mengolok-olok" kayak gitu kurang-lebih seperti tingkah Si Udin tempo hari. Ia datang menggedor pintu belakang, "Abah, pinjami aku uang, 50 rebu doang!" Kuberi ia sejumlah yang diminta. Dengan sigap Si Udin menyambar uang seraya berkata, "Apa yang abah lakuin ini cuma pencitraan, aku gak suka!" Dalam hati kuumpat Si Udin, "Din, lihat lima jari tanganku. Dari lima itu yang terbaik untukmu adalah yang tengah."

RUMAH INI MAU DI BAKAR (Oleh : Iyyas Subiakto)

Nyaris seharian keliling Jakarta, ngobrol dgn Kang Nanang supir taxi yg incomenya turun 40% krn kena imbas taxi online, ketemu Mas Eko Kuntadhi, dihadiahi buku Para Penyembah Petromaks, yg blm sempat sy baca.

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""
Rebahan sambil baca uploadan teman2 di fb yg selalu jenaka, ada Edy Rumpoko Walikota Batu yg akhirnya ikut daftar ke KPK via OTT, Asma Dewi juga terus membahana karena makin jauh ditinggal kawanannya. Diujung yg lain terbaca bahwa Pak Prabowo berkomentar ttg bantuan Indonesia ke Bangladesh yg disebutnya sbg pencitraan. Lama sy membaca headlinenya, ini bercanda atau lupa, harusnya seorang mantan jendral sekelas dia dan Bacapres pula, kok bisa2nya bantuan kemanusiaan dari negaranya disebut pencitraan. Jokowi adalah rival yg pasti menyulitkan dalam laga tanduk 2019, tapi urusan kemanusiaan ditarik ke masalah persaingan perpolitikan kok jadi kelas komentar Fadli Zon diterus2kan, kelas mantan jendral jadi sama kelasnya bintang iklan Daia yg tak iya.
Beberapa kali sy nonton video saat Pak Prabowo bcr strategi pemenangan dalam kancah perebutan kekuasaan. Disana dia menyebut strategi " Rampaslah saat rumah terbakar ", mulanya sy tak paham, tp lama2 sy camkan, ini adalah strategi pembumi hangusan. Ingat Ambon, ingat Jakarta yg pernah memerah dan Jakarta yg baru saja nyaris berdarah karena sumpah serapah agama yg terarah.
Merampas saat kebakaran menjadi kata dua makna, di bakar atau terbakar, namun bila di amati, bahwa strategi itu dibuat, di rencanakan dan di eksekusi, maka tidak ada yg terbakar, yg ada adalah di bakar, membakar tidak harus dengan api, karena lidah lebih panas dari api. Kasus pilkada Jakarta menjadi nyata bekerjanya sebuah rencana dgn strategi merampas rumah yg sedang kebakaran, sangat jelas dan gampang di tebak siapa yg main dibelakangnya, untuk apa dan kenapa.
Statement Pak Prabowo atas bantuan kemanusiaan yg disampaikan pemerintah Indonesia kepada pengungsi Rohingya sbg sebuah pencitraan sungguh sangat menyakitkan, segitu parahnya sebuah kemarahan terhadap lawan politik dalam persaingan sampai2 membedakan antara kebaikan yg sedang dijalankan dan perasaan ingin menjatuhkan tidak terpilah, usaha kolektif dari bangsa ini atas nama kemanusiaan telah dihinakan oleh seorang Prabowo yg konon begitu menjanjikan bila kelak memimpin sebuah negara, kalau dgn gaya yg ditampilkannya, jangankan menjadi macan Asia, menjadi pelanduk saja, kayaknya sulit utk mengangkat kepala. Bagaimana mungkin dia akan menjadi kepala negara yg bijaksana, kalau membedakan antara bantuan 5 helikopter direndahkan dgn kata pencitraan, apakah nyari sumbangan dgn kotak indomie dipinggir jalan menjadi ukuran tindakan yg bisa dibanggakan. Dia lupa bahwa menyebar anak2 mencari sumbangan menempati trotoar Jakarta adalah pencitraan rendahan, seolah peduli Rohingya padahal hasil ngemisnya kita tak tau diaudit siapa, kata teman saya ngemis utk Aleppo yll dapat 94 m, yg dikirim cuma 20m, sisanya habis buat induk pengemis yg menjual kata solidaritas tapi kelakuan sangat tak pantas.
Jujur kami rakyat ini lelah sudah kalian buat, loncatan kemaksiatan politik kalian sudah mencapai ubun2 kemuakan yg menyesakkan, seolah kaliat mengidap glulokoma hati yg akut, ciri kalian jelas terlihat, setiap gerakan murahan berupa olok2an kpd sebuah institusi negara pasti dibelakangnya ada kalian. Aura, aroma, dan rasanya sudah begitu biasa dan selalu terasa bhw kalian sangat niat dengan kekuasaan hanya utk sebuah keserakahan. Bulshit kalian ngomong keadilan, bagaimana mungkin platform dasar berpikir yg agitatis akan menghasilkan sebuah negara yg aman dan damai, bagaimana entitas kebenaran akan dirasakan bila dalam waktu yg sama negasi atas sebuah kedamain dilakukan.
Oh Ibu pertiwi kami makin tidak mengerti, ada biri-biri ngakunya sapi, tapi yg disusui anak babi. Apakah memang harus begini nasib sebuah negeri. Jokowi jadi bekerja sendiri, yg lain mencaci maki bahkan PKI dipaksa reinkarnasi diminta nyambangi Jokowi, agar stigma terpatri bahwa dia anak PKI yg tak pantas dipilih lagi, padahal yg mau mengganti dgn cara keji rekam jejaknya begitu ngeri. Ah lelah hati kami...Cermin itu dipaksa berkata gagah yg seharusnya sebuah pengakuan sebenarnya bhw ada yg salah atas dirinya.
# Kalau mau jadi presiden jgn pakai saracen.

Kahiyang (Oleh : Abad Badruzaman)

Senang sekali kemarin bisa mengikuti seluruh prosesi pernikahan Kahiyang-Bobby. Yang datang ribuan. Rame, semarak, tapi tetap khidmat dan sy...